Total Tayangan Halaman

Entri Populer

Jumat, 05 Agustus 2011

SARI PUSTAKA


SARI PUSTAKA

GANGGUAN PERTUMBUHAN PADA ANAK DENGAN PENYAKIT JANTUNG BAWAAN PIRAU KIRI KE KANAN

1.         PENDAHULUAN
Penyakit Jantung Bawaan (PJB) merupakan kelainan Bawaan yang sering dijumpai, dengan angka kejadian 30% dari seluruh kelainan bawaan. Insiden PJB di negara maju maupun negara berkembang berkisar 6 – 10 kasus per 1000 kelahiran hidup. Dengan rata-rata 8 per 1000 kelahiran hidup.
 Menurut Sastroasmoro dan Madiyono (1994), dari 3602 pasien baru yang diperiksa selama 10 tahun (1983-1992) di Poliklinik Subbagian Kardiologi, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM, Jakarta, terdapat 2091 penderita PJB. Sebagian besar adalah dari jenis non-sianotik (1602 atau 76.7%) dan sisanya jenis sianotik (489 atau 23.3%). Di Poliklinik Kardiologi Anak RSDK Semarang, pada periode Januari 2007 – Desember 2008 dijumpai 135 pasien baru PJB, penyakit jantung asianotik merupakan yang terbanyak yaitu sebanyak 80,74% (109 pasien), jumlah pasien PJB asianotik pirau kiri ke kanan (defek septum ventrikel, defek septum atrium, defek septum atrioventrikuler, paten duktus arteriosus) sebanyak 68,81% (75 pasien).
Pada penelitian-penelitian sebelumnya telah disebutkan bahwa pasien dengan penyakit jantung bawaan yang disertai gangguan hemodinamik yang bervariasi mempunyai rata-rata berat badan dibawah 3 persentil dan mengalami gangguan  pertumbuhan. Pasien dengan penyakit jantung bawaan asianotik yang telah menderita hipertensi pulmonal akan mengalami malnutrisi ringan atau berada pada garis ambang batas malnutrisi.1 Bayi baru lahir dengan ventrikel tunggal yang mengalami berat lahir lebih rendah dan ukuran bayi lebih kecil dari masa kehamilan, frekuensinya lebih tinggi dibandingkan dengan bayi baru lahir normal.2

1.1. Definisi PJB
Penyakit jantung bawaan (PJB) atau penyakit jantung congenital merupakan penyakit yang ada sejak lahir (con=bersama, genitus= dilahirkan) 3   ([1]), yaitu penyakit dengan kelainan pada struktur jantung atau fungsi sirkulasi jantung yang dibawa dari lahir yang terjadi akibat adanya gangguan atau kegagalan perkembangan struktur jantung pada fase awal perkembangan janin.  PJB dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yakni PJB sianotik dan PJB asianotik. PJB sianotik adalah PJB dengan ditemukan gejala atau tanda sianosis. PJB asianotik adalah penyakit jantung bawaan dengan tidak ditemukan gejala atau tanda sianosis. Pada PJB asianotik, bergantung ada dan tidaknya pirau, kelompok ini dapat dibagi menjadi
1. Penyakit jantung bawaan asianotik dengan pirau kiri ke kanan, yakni defek septum ventrikel, defek septum atrium, defek septum atrioventrikularis, duktus arteriosus persisten.
2. Penyakit jantung bawaan asianotik tanpa pirau, yaitu stenosis pulmonal stenosis aorta, serta koarktasio aorta. 4  ([2])       

1.2. Klasifikasi anatomis PJB dengan pirau kiri ke kanan.
            Berdasarkan letak defek secara anatomi, PJB dengan pirau kiri ke kanan dibagi menjadi :
1.2.1. Defek Septum Atrium (DSA).
Pada DSA terdapat hubungan antara atrium kanan dan atrium kiri karena pembentukan sekat yang abnormal. Terdapat 4 type DSA :
a. Defek septum primum
b. Defek septum sekundum
c. Defek sinus venosus (tipe vena cava superior dan tipe vena cava inferior)
d. Defek septum sinus koronaria.5  (=[1])
1.2.2. Defek Septum Ventrikel (DSV).          
Pada DSV terdapat hubungan antara ventrikel kanan dan ventrikel kiri karena pembentukan sekat yang abnormal Berdasarkan lokasi lubang, DSV diklasifikasikan dalam 3 tipe, yaitu:
a. Perimembranosa.
b. Muskular
c. subarterial (Double Committed subarterial defect). 6  ([3] )

1.2.3. Defek septum atrioventrikular.
Disebut juga sebagai endocardial cushion defect, kemudian atrioventricular canal (AV canal), atau atrioventricular defect. Ada beberapa kelainan atrioventricular defek :
a. Defek septum atrioventrikular komplet.
b. Defek septum atrioventrikular transisional
c. Defek septum atrioventrikular parsial
d. Defek septum atrioventrikular incomplete.7  ([4])
1.2.4. Duktus arteriosus persisten.
Tetap terbukanya duktus arteriosus setelah lahir, yang menyebabkan mengalirnya darah secara langsung dari aorta (tekanan lebih tinggi) ke dalam arteri pulmonal (tekanan lebih rendah).8   ([5])
Berdasarkan besarnya diameter duktus, terdapat :
a.       Duktus arteriosus persisten kecil.
b.      Duktus arteriosus persisten  sedang
c.       Duktus arteriosus persisten besar.8  (,  [6])

1.2.5. PJB dengan Pirau kiri ke kanan yang lainnya.
a. Pirau kiri ke kanan pada tingkat atrium, termasuk didalamnya adalah :
Total anomalous pulmonary venous connection and return (TAPVC) dan Partial anomalous pulmonary venous connection (PAPVC)
b. Pirau kiri ke kanan pada tingkat arteri, yaitu :
Aorto-Pulmonary (AP) Window, Pirau antara Aorta dan arteri pulmonalis, malformasi arteriovenosa sistemik dan fistel cameral coronaria dan arterio.

1.3. Klasifikasi fisiologi PJB dengan pirau kiri ke kanan.
                        Berdasarkan beban fisiologis PJB pirau kiri ke kanan terdiri dari :
1.3.1. Defek Septum Atrium
            Tumbuhnya septum yang akan memisahkan atrium terjadi mulai minggu kelima kehamilan. Septum  berasal dari dan tumbuh dari 2 tempat, yaitu  septum primum (minggu kelima) dan septum sekundum (minggu keenam). Dimulai dengan septum primum yang tumbuh berbentuk bulan sabit, yang akan membentuk bagian yang konkaf dan berbentuk lubang dan disebut ostium primum. Septum primum akan terus tumbuh ke bawah hingga menutup ostium primum. Namun sebelum ostium primum menutup dan berfusi dengan bantalan endokardium, pada bagian atas septum primum akan terbentuk lubang yang disebut ostium sekundum. Ostium sekundum berguna untuk mempertahankan pirau dari atrium kanan ke atrium kiri selama masa janin sebagai sirkulasi normal janin.
            Pada minggu berikutnya akan tumbuh septum kedua, yaitu septum sekundum. Septum ini berbentuk bulan sabit yang akan tumbuh secara normal menutup bekas ostium primum dan sekundum yang dibentuk oleh septum primum. Walaupun demikian, septum sekundum akan membentuk lubang yang  terletak sedikit lebih inferior dari ostium sekundum dan kedua septum ini tidak berfusi atau menyatu, membiarkan darah tetap dapat mengalir dari atrium kanan ke atrium kiri. Septum primum kaan berfungsi sebagai klep yang membuat darah hanya mengalir searah dari atrium kanan ke atrium kiri pada saat janin. Bila septum sekundum tidak tumbuh dengan baik, terjadilah defek septum atrium. 3 ( 8)
Penutupan spontan dari DSA sekundum terjadi pada 40% pasien sampai  memasuki umur 4 tahun. PAda beberapa pasien ukuran defek dapat berkurang. Pada pasien dengan ukuran defek < 3mm yang didiagnosa sebelum umur 3 bulan, penutupan spontan dapat terjadi pada 100% pasien pada umur 1,5 tahun. Pada DSA yang berukuran 3 – 8 mm, penutupan spontan dapat terjadi pada 80% pasien sebelum umur 1,5 tahun. Pada DSA dengan diameter > 8 mm, jarang terjadi penutupan spontan. Gagal jantung kongestif jarang terjadi pada masa infant. Pada DSA yang berukuran besar dan tidak mendapatkan terapi, dapat berkembang menjadi gagal jantung kongestif dan hipertensi pulmonal saat berusia 20 – 30 tahun.9   ([7])

1.3.2. Defek Septum Ventrikel.
            Defek septum ventrikel terjadi karena terlambatnya penutupan sekat interventrikuler pada 7 minggu pertama kehidupan intrauterine, yaitu saat terjadi interaksi antara bagian muscular interventrikular, bagian dari endokardium (bantalan endokardium), dan bagian dari bulbus cordis. Pada saat itu terjadi kegagalan fusi bagian-bagian septum interventricular; membrane, muscular, jalan masuk, jalan keluar, atau kombinasinya, yang bisa bersifat tunggal atau multiple.
      Gangguan hemodinamik pada penderita VSD tergantung pada ukuran defek dan tahanan vascular pulmonal. Pada janin normal, tahanan arteria pulmonalis tinggi, dan akan menurun dengan cepat pada saat setelah lahir hingga tahanan vascular pulmonal sama dengan tahanan vascular sistemik., Pada usia 4-6 minggu, penurunan tahanan vascular pulmonal berlanjut pelan-pelan sampai mencapai puncaknya pada umur 3-6 bulan.
Pada penderita VSD, darah mengalir melalui defek dari ventrikel kiri ke ventrikel kanan (left to right shunt) karena pengaruh perbedaan tekanan. Bunyi bising disebabkan oleh derasnya aliran darah. Darah di ventrikel kanan didorong ke arteri pulmonalis sehingga terjadi peningkatan aliran darah melalui arteri pulmonalis yang berlanjut sebagai peningkatan tekanan vascular pulmonal.
Resistensi relative antara 2 sirkulasi bersifat dinamis dan berubah dengan waktu. Pada periode neonates, TVP (tahanan vascular pulmonal) tinggi, TVki=TVka (tahapan kiri sama dengan tahanan ventrikel kanan), shunt minimal atau tidak ada. Pada periode bayi (3-4 minggu), TVP menurun, TVki>TVka, shunt dari kiri ke kanan.
 Volume shunt dipengaruhi oleh :
a.       rasio dari aliran darah pulmonal (Qp) dan aliran darah sistemik (Qs). Pada kondisi normal, jumlah aliran darah di kedua sirkulasi seimbang, yaitu Qp : Qs = 1 : 1.
b.      Apabila ada shunt dari kiri ke kanan, perbandingan di atas akan berubah menjadi 2:1,  3:1, dan biasanya tinggi pada defek yang besar.
c.      

Qp : Qs =   𝛥Pp  : 𝛥Ps
                    Rp  :  Rs

𝛥Pp  (𝛥Ps) : perbedaan rata-rata antara tekanan arteri dan vena dalam sirkulasi pulmonal (sistemik).

Rp  :  Rs adalah rasio resistensi vascular pulmonal dan sistemik
a.       < 1,5 = Asimptomatik
b.      > 2,0 = Simptomatik


 




  


 Pirau dari kiri ke kanan yang kecil membuat penderita tampak tanpa gejala (Rogers’ disease). Akan tetapi, pirau yang besar (aliran pulmonal ≥ 2,0 kali aliran sistemik) dapat menimbulkan tanda dan gejala gagal jantung kongestif.3  ([8])
Pasien DSV yang kecil tampak asimptomatik dengan perkembangan dan pertumbuhan yang normal. Penutupan spontan dapat terjadi pada 30% - 40% pasien pada umur 6 bulan pada DSV type membran dan muscular. DSV inlet dan infundibular tidak dapat mengecil atau menutup spontan. Sedangkan pada DSV yang lebar, akan terjadi gagal jantung kongestif, keadaan ini biasanya terjadi pada pasien berumur 6 – 8 minggu. Pada DSV yang lebar, penyakit obstruksi vascular pada paru dapat terjadi pada awal umur 6 – 12 bulan, tetapi tidak sampai terjadi pirau kanan ke kiri pada umur remaja. Stenosis infundibular juga dapat terjadi pada DSV yang lebar, sehingga ini dapat menurunkan pirau kiri ke kanan menjadi pirau kanan ke kiri.9  (.7)

1.3.3. Defek septum atrioventrikular (endocardial cushion defect)
              Kanal atrioventrikuler akan mulai memisahkan diri pada saat janin berusia sekitar 5 minggu dan akan terbentuk kanal atrioventrikel kanan dan kiri kurang lebih satu minggu kemudian. Pemisahan ini dimulai dengan penebalan bantalan endokardium sebelah ventral dan dorsal kanal atrioventrikuler. Bagian bantalan endokardium sampai bagian kiri septum primum akan menjadi daun katup aortic katup mitral, sedangkan bagian bantalan endokardium sebelah kanan akan membentuk daun katup septal katup trikuspidal dan juga bagian puncak septum interventrikel.
              Akibat fisiologis dari defek bantalan endokardium adalah adanya defek septum atrium dan ventrikel serta kemungkinan tambahan regurgitasi katup atrioventikuler.
Defek bantalan endokardium dapat disertai dengan berbagai kelainan anatomis jantung lain dan hampir setiap defek jantung congenital dapat disertai dengan defek bantalan endokardium. (sw)
Pada DSAV yang complete biasanya muncul gejala infeksi saluran pernafasan yang berulang, takipneu, malnutrisi, gagal tumbuh, takikardi dan gagal jantung kongestif hepatomegali, irama gallop). 9 (7)

1.3.4. Duktus Arteriosus Persisten
            Sistem kardiovaskuler janin berasal dari lapisan mesoderm dan mulai berkembang pada minggu ketiga kehidupan. Pada saat ini telah terbentuk kedua ventrikel, dan pada perkembangannya ventrikel kiri akan lebih berkembang daripada ventrikel kanan. Pada awal minggu keempat kehidupan, system sirkulasi janin mulai berfungsi. Secara morfologis system sirkulasi ini disebut ‘sirkulasi seri’ , yaitu darah dari atrium kanan akan masuk ke atrium kiri, menuju ke ventrikel kiri dan selanjutnya menuju ke ventrikel kanan.
            Arkus aorta dibentuk pada minggu keempat dan terdiri dari enam bagian. Pada perkembangan selanjutnya, salah satu cabangnya akan berkembang menjadi duktus arteriosus dan beberapa bagian lain menjadi rudimenter. Pembentukan arteri pulmonalis juga masih menempel pada aorta. Proses pemisahan akan terjadi pada minggu ke lima.
            Dalam beberapa saat setelah kelahiran, fungsi plasenta sebagai organ respirasi akan diganti oleh paru. Segera sesudah mulai pernafasan spontan, plasenta dikeluarkan dari sirkulasi melalui penjepitan tali pusat atau dengan kontriksi arteri umbilikalis. Proses ini akan menaikkan tahanan sistemik dan pada saat yang sama paru mulai mengembang dan oksigen masuk ke dalam alveoli. Hal ini akan menyebabkan turunnya tahanan vascular paru. Kenaikan tahanan vascular sistemik yang mendadak disertai turunnya tahanan vascular paru menyebabkan aliran darah berbalik dari aorta ke arteri pulmonalis melalui ductus arteriosus. Selain itu, volume darah yang dialirkan ke sirkulasi paru juga bertambah dari 35 ml/kg/menit sebelum lahir menjadi 160-200 ml/kg/menit setelah lahir.
            Biasanya ductus arteriosus tetap terbuka selama beberapa jam sesudah lahir. Pirau dari aorta ke arteri pulmonalis melalui duktus arteriosus ini dianggap masih dalam batas ‘fisiologis’. Normalnya, duktus arteriosus akan menutup dalam 10-15 jam setelah kelahiran. Mekanisme penutupan ini tidak seluruhnya dimengerti, tetapi beberapa factor yang diduga berperan adalah kadar oksigen arterial, kadar prostaglandin, genetic dan factor lain yang belum diketahui. Faktor-faktor tersebut menyebabkan nekrosis seluler pada dinding duktus arteriosus yang akan diikuti dengan kontriksi otot dinding duktus pada tahap berikutnya sehingga aliran darah dari aorta ke arteri pulmonalis tertutup.3    (8)
    Penutupan duktus arteriosus terjadi dalam dua tahap. Mula-mula pada 10-15 jam pertama kelahiran terjadi kontraksi otot polos dengan diikuti pemendekan struktur dan penebalan dinding duktus. Kemudian 2-3 minggu terjadi proliferasi jaringan fibrous tunika intima. Penutupan duktus terjadi secara sempurna sampai 8 minggu, diakhiri dengan terbentuknya jaringan ligamentum fibrous yang disebut ligamentum arteriosum. 8  (5)
Pasien dengan DAP yang berukuran kecil biasanya asimptomatik. Pasien dengan DAP yang besar akan mengalami infeksi saluran pernafasan bawah, atelektasis, dan gagal jantung kongestif yang disertai gejala takikardi, takipneu, dispneu dan penurunan berat badan. Pada DAP terjadi pirau kiri ke kanan yang menghasilkan gejala sianosis hanya pada tubuh bagian bawah. [9]

1.4. Patofisiologi PJB dengan pirau kiri ke kanan.
        Sebelum mempelajari patofisiologi penyakit jantung, perlu diketahui tentang fisiologi jantung yang normal dan fungsinya yang mendasar.

CO (ml/mnt) = SV (ml/denyut) x HR (denyut/menit).

Cardiac output (CO) atau curah jantung adalah volume darah yang dipompa per menit.  Stroke Volume (SV) atau volume sekuncup adalah jumlah darah yang dipompakan setiap kontraksi  ventrikel kiri dan kanan. SV dipengaruhi oleh preload, afterload dan kontraksi jantung. Curah jantung dapat meningkat atau menurun akibat dari gaya gerak yang bekerja secara intrinsic atau ekstrinsik pada jantung; yaitu dengan atau tanpa faktor eksternal. Pengaturan intrinsic curah jantung ditentukan oleh panjang serabut otot jantung. Pengaturan eksternal adalah efek dari rangsangan saraf pada jantung. Bila terjadi peregangan ventrikel yang berlebihan tidak akan memperbaiki kontraksi dan jantung tidak akan mampu untuk memompa keluar kelebihan darah. Kerusakan jantung akan berlanjut dengan pengisian yang berlebihan dan akhirnya semakin meregang.18    ( [2])
1.4.1. Defek septum atrium.
Besarnya tekanan pirau dan banyaknya aliran tergantung dari ukuran defek dan kelenturan relative jantung kanan dan kiri, yang lebih berpengaruh terhadap compliance (kelenturan) dan tahanan jantung daripada terhadap besarnya defek.   Darah dari atrium kiri masuk ke atrium kanan melalui defek pada septum atrium. Aliran ini tidak deras karena perbedaan tekanan pada atrium kiri dan atrium kanan tidak terlalu besar (tekanan atrium kiri 6 mmHg dan atrium kanan 5 mmHg). Terjadinya aliran pirau terutama pada saat akhir systole ventrikel dan awal diastole, dengan sedikit tambahan saat diastole. Dengan adanya tambahan volume tersebut maka dapat terjadi dilatasi arteri pulmonal dan peningkatan vaskularisasi pulmonal (akan tampak pada gambaran radiologis).  Perkembangan dari hipertensi pulmonal sangat bervariasi dan nampaknya tergantung juga pada factor individu yang belum diketahui. Gejala seperti aritmia, intoleransi terhadap latihan, dispnea, dan kelelahan (fatigue) biasa timbul pada pasien ini.
      Pada defek septum atrium tipe primum, sebagian besar gejala hampir sama, hanya saja sering disertai defek pada katup mitral atau trikuspidal yang menyebabkan terjadinya insufisiensi katup. Insufisiensi ini menyebabkan aliran darah berbalik arah dari ventrikel ke atrium. Dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhan curah jantung, ventrikel (kiri) bekerja demikian keras sehingga menjadi hipertrofi. Keadaan ini tidak pernah terjadi pada ASD tipe sekundum.3   (.8)
Bila pirau  besar, volume darah yang melalui arteri pulmonalis dapat 3-5 kali lebih besar dari darah yang melalui aorta. Adanya aliran darah ini akan menyebabkan penambahan beban pada ventrikel kanan, arteri pulmonalis kapiler  paru dan atrium kiri.
Seiring dengan bertambahnya umur, pada DSA yang berjalan progresif akan menurunkan toleransi latihan, timbul gagal tumbuh dan ketika memasuki usia decade ketiga akan muncul gejala platypnea-orthodeoxia. Platypnea adalah gejala sesak napas pada waktu tubuh dalam keadaan berdiri tegak, dan berkurang pada saat berbaring. Orthodeoxia adalah gejala desaturasi oksigen dalam keadaan posisi tubuh tegak berdiri.  Pada DSA yang disertai pirau kiri ke kanan yang lebar,  tinggi badan dan berat badan bisa dari normal menjadi sedikit dibawah normal.5  (3)

1.4.2.  Defek septum ventrikel.
Pada pasien yang mempunyai DSV akan mengalami diaphoresis, sulit makan, gagal tumbuh dan sering mengalami infeksi saluran pernafasan. Pada DSV yang besar akan muncul gejala takipneu, takikardi, dan hepatomegali akibat dari timbulnya hipertensi pulmonal. Pada bayi baru lahir dan infants dengan DSV yang besar akan terjadi gagal jantung karena output sistemik yang menurun, sehingga akan muncul gejala nadi lemah dan perfusi menurun dengan capillary refill yang lebih dari 2 detik, muka tampak pucat dan urine output rendah.10  [10] (= [3])
            a. Defek septum ventrikel kecil
           Kira-kira 70% pasien dengan defek kecil dapat menutup spontan dalam 10 tahun, sebagian besar dalam 2 tahun pertama. Bila telah berusia 2 tahun defek tidak menutup, maka kemungkinannya menutup secara spontan adalah kecil. Pada defek DSV yang kecil hanya terjadi pirau kiri ke kanan yang minimal, sehingga tidak terjadi gangguan hemodinamik yang berarti. Pada keadaan ini tidak memperlihatkan keluhan, jantung normal atau sedikit membesar, tidak ada gangguan tumbuh kembang.6 ( 6)
            b. Defek septum ventrikel sedang.
Pada defek sedang terjadi pirau yang bermakna dari ventrikel kiri ke ventrikel kanan, seperti pada defek yang besar. Pada hari-hari pertama pertama pasca lahir  belum terdapat pirau kiri ke kanan yang bermakna, oleh karena resistensi vascular paru yang masih tinggi. Pirau yang bermakna baru terjadi setelah tahanan vascular paru menurun, yakni diantara minggu ke-2 sampai ke-6. Jadi bising yang nyata baru terdengar setelah bayi pulang dari rumah bersalin.
Pasien dengan DSV sedang sering mengalami sesak nafas pada waktu minum, atau memerlukan waktu yang lebih lama untuk menyelesaikan makan dan minumnya, atau tidak mampu menghabiskan minuman dan makanannya. Pasien sering mengalami kesulitan kenaikan berat badan, menderita infeksi paru yang memerlukan waktu yang lebih lama untuk sembuh, kemungkinan sekitar umur 3 bulan akan diikuti terjadinya gagal jantung. Tetapi pada umumnya responsive terhadap pengobatan medic. Pada pemeriksaan fisik bayi tampak kurus, dispnoe, takipneu, serta retraksi. 6   ( 6 above6)
                       
            c. Defek septum ventrikel besar
Pada pirau kiri ke kanan yang besar menyebabkan meningkatnya tekanan ventrikel kanan. Bila tidak terdapat obstruksi jalan keluar ventrikel kanan, maka tekanan ventrikel kanan yang tinggi tersebut akan diteruskan ke a.pulmonalis. Dengan pertumbuhan pasien, dapat terjadi beberapa kemungkinan yaitu : defek mengecil, atau defek menutup, atau terjadi stenosis infundibuler sehingga pirau kiri ke kanan berkurang, atau defek tetap besar.
Defek yang tetap besar dengan pirau kiri ke kanan berlanjut, menyebabkan tekanan yang selalu tinggi pada sirkulasi paru. Akibatnya terjadi perubahan vascular paru (dari derajat I sampai derajat VI). Bila tekanan di ventrikel kanan melampaui ventrikel kiri maka akan terjadi pirau yang terbalik (dari kanan ke kiri), sehingga pasien menjadi sianotik. Keadaan ini disebut Sindroma Eisenmenger. Pada defek besar proses terjadinya hipertensi pulmonal dapat terjadi pada anak berumur 1 tahun.6 (6)

1.4.3. Defek septum atrioventrikular.
Pada defek septum atrioventrikular akan terjadi peningkatan aliran darah menuju ke paru akibat dari adanya pirau kiri ke kanan melalui defek septum atrium dan defek septum ventrikel. Khususnya pada pasien dengan Defek septum ventrikel yang besar, jika nadinya diukur dengan oxymetry, akan menunjukkan penurunan saturasi oksigen karena terjadi percampuran antara darah yang teroksigenasi dengan darah yang tidak teroksigenasi. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi cyanosis yang tidak tampak. Pengisian kapiler (capillary refill) bisa lambat terjadi karena berkurangnya ‘cardiac output’ akibat aliran darah yang melewati pirau kiri ke kanan dan kelelahan otot jantung akibat meningkatnya alirah darah ke paru. Hepatomegali juga dapat terjadi akibat kongesti paru. Pada defek septum atrioventriculare, seperti pada gagal jantung kongestif, karena darah yang berasal dari ventrikel kiri sebagian menuju ke paru-paru sehingga cardiac output menjadi berkurang, maka akan timbul gejala  mudah lelah, napas pendek, dan kegagalan pertumbuhan. Pada bayi akan muncul gejala kekurangan gizi, tachypnea, tachycardia, mudah berkeringat, muka pucat, diaphoresis saat latihan seperti saat makan.7 (4)

1.4.4. Duktus arteriosus persisten.
Duktus Botalli berfungsi untuk dilalui aliran darah dari ventrikel kanan ke arteri pulmonalis melalui duktus ke aorta pada saat janin dalam rahim. Bila pada waktu lahir duktus ini tetap terbuka, darah dari ventrikel kiri menuju ke aorta, melalui duktus menuju ke arteri pulmonalis (kebalikan sirkulasi janin). Banyaknya darah yang masuk ke arteri pulmonalis dari aorta ini bergantung pada besarnya duktus, dan juga bergantung pada turunnya tahanan pada kapiler paru (pada waktu lahir, tahanan pada kapiler paru tinggi, kemudian sedikit demi sedikit turun, sesudah paru berkembang, tahanan menurun). Kejadian diatas menyebabkan terjadilah shunt dari kiri-ke kanan melalui duktus. Oleh karena aliran dalam duktus ini terjadi, baik pada waktu sistole maupun diastole maka akan menimbulkan bising yang kontinu.
Dengan adanya darah yang masuk ke duktus dari aorta, berarti aorta bocor, dan ini pengaruhnya terhadap jantung dan nadi sama dengan pada insufisiensi katup aorta, yaitu ventrikel kiri harus bekerja lebih kuat, dan tekanan diastole lebih rendah. Oleh karena itu, akan terjadi nadi dengan amplitudo yang besar (jarak antara tekanan sistolik dan tekanan diastolik besar) sehingga pada kapiler nampak denyutan. Nadi seperti ini disebut water hammer pulse. Pada PDA yang besar, jika tahanan vaskuler paru lebih rendah, maka aliran darah yang menuju ke arteri pulmonal akan lebih banyak sehingga terjadi hipertensi pulmonal yang akhirnya akan menyebabkan hipertropi ventrikel kanan. Jika tahanan vaskuler paru lebih tinggi, maka darah dari arteri pulmonalis akan mengalir menuju ke aorta (terjadilah fisiologi eisenmenger).
Seperti pada VSD, aliran darah ke dalam pulmo lebih banyak dan keadaan ini lamban laun akan menimbulkan arterioskleosis pada a. pulmonalis, yang nantinya akan berakibat berbaliknya shunt dari kiri ke kanan menjadi dari kanan ke kiri. Jadi, darah mengalir dari a. pulmonalis melalui duktus ke aorta. Kalau terjadi demikian, badan yang ada di bagian bawah duktus menjadi sianosis, sedang badan bagian atas (kepala dan tangan) tetap normal. 11 (10)
    Pada PDA yang besar akan menimbulkan gejala takipneu dan takikardi akibat sirkulasi pada paru yang berlebihan sehingga kerja paru meningkat. Gejala yang lain adalah  sulit makan, berkeringat saat makan, dan gagal tumbuh.8 ( 5)
           
Klasifikasi dan manifestasi klinik Duktus arteriosus persisten.

Tingkat
Hipertrofi ventrikel dan atrium kiri
Tekanan arteri pulmonal
Saturasi oksigen
Perbandingan sirkulasi pulmonal - sistemik
I
Tidak ada
Normal
Normal
 < 1,5
II
Minimal
30-60 mmHg
Normal
 1,5  -  2,5
III
Signifikan + hipertrofi ventrikel kanan yang minimal
  > 60 mmHg, tapi masih dibawah tahanan sistemik
Kadang sianosis
 > 2,5
IV
Hipertrofi biventrikel + atrium kiri
Lebih tinggi dari tahanan sistemik
sianosis
 < 1,5

           Tingkat I : Tidak bergejala. Pertumbuhan dan perkembangan fisik berlangsung dengan baik. Pada pemeriksaan fisik dengan menggunakan elektrokardiografi dan rontgen foto dada, tidak ditemukan adanya pembesaran jantung.
Tingkat II : Penderita sering mengalami infeksi saluran nafas, tetapi pertumbuhan fisik masih sesuai dengan umur. Peningkatan aliran darah ke sirkulasi pulmonal dapat terjadi sehingga timbul hipertensi pulmonal ringan. Jika tidak tertangani dengan baik, akan jatuh ke dalam tingkat III atau IV.
Tingkat III : Infeksi saluran nafas makin sering terjadi. Pertumbuhan anak biasanya terlambat, anak tampak kecil tidak sesuai umur dengan gejala-gejala gagal jantung. Nadi juga dengan amplitude yang lebar. Jika beraktivitas, penderita akan mengalami sesak nafas disertai sianosis ringan. Pada penderita dengan duktus berukuran besar, gagal jantung dapat terjadi pada minggu pertama kehidupan. Dengan pemeriksaan rontgen foto dada dan elektrokardiografi, ditemukan hipertrofi ventrikel kiri dan atrium kiri yang juga disertai dengan hipertrofi ventrikel kanan yang ringan. Suara bising jantung dapat didengar di antara sela iga tiga dan empat.
Tingkat IV : Pada keadaan ini, keluhan sesak napas dan sianosis akan semakin nyata. Tahanan sirkulasi paru lebih tinggi daripada tahanan sistemik, sehingga aliran darah di duktus berbalik dari kanan ke kiri. Pemeriksaan dengan foto rontgen dan elektrokardiografi menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri, atrium kiri dan ventrikel kanan. Kondisi pasien ini disebut dengan Sindrom Eisenmenger.

Mekanisme Gagal Jantung pada PJB dengan pirau kiri ke kanan.
            Tubuh memiliki beberapa mekanisme kompensasi terhadap kondisi gagal jantung. Bentuk kompensasi yang terjadi adalah :
(1)   mekanisme fight-or-flight dengan pelepasan hormone epinefrin dan norepinefrin;
Epinefrin dan norepinefrin menyebabkan jantung memompa darah lebih cepat dan kuat. Hal ini menyebabkan jantung dapat memompa darah lebih banyak, kadangkala mencapai jumlah curah jantung normal sehingga berperan sebagai kompensasi sementara terhadap kegagalan fungsi jantung.
Mekanisme kompensasi ini akan menolong pasien anak untuk memenuhi kebutuhan metabolism jaringannya. Tetapi kerja jantung yang berat ini akan menyebabkan bertambahnya kebutuhan metabolic jantung yang sudah mengalami kerusakan. Lama-kelamaan, peningkatan kebutuhan metabolic jantung ini akan memperburuk fungsi jantung.
(2)   mekanisme retensi air dan garam oleh ginjal untuk meningkatkan preload (pra beban)
Retensi air dan garam membantu menambah volume sirkulasi tubuh dan mempertahankan tekanan darah. Penambahan volume darah yang memasuki ventrikel kiri juga akan makin meregangkan otot ventrikel sehingga sesuai dengan hokum Frank Starling, kontraksi ventrikel menjadi makin kuat. Mulanya mekanisme ini akan memperbaiki curah jantung, tetapi setelah melampaui batas tertentu, fungsi jantung akan memburuk. Retensi air oleh ginjal terjadi akibat beberapa mekanisme : (a) penurunan filtrasi glomerulus karena terjadi penurunan curah jantung ke ginjal; (b) peningkatan system rennin-angiotensin; (c) peningkatan sekresi aldosteron oleh korteks adrenal.

(3)   hipertrofi dan remodeling otot jantung.
Remodelling otot jantung baru dapat terjadi setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan sebagai respons kronik terhadap penurunan fungsi jantung. Hipertrofi dan remodeling otot jantung terjadi karena rangsangan neurohormonal dan sitokin akibat peningkatan beban jantung dan penurunan perfusi sistemik. Pada mulanya, mekanisme kompensasi ini akan meningkatkan curah jantung, tetapi lama-kelamaan dapat terjadi proses apoptosis (kematian sel yang terprogram), nekrosis, iskemia otot jantung, dan penurunan cadangan energy jantung sehingga akhirnya akan semakin menurunkan fungsi jantung.

Klasifikasi gagal jantung pada anak Menurut ROSS
Class I
asimptomatik
Class II
Takipneu ringan or berkeringat saat makan pada infant.
Dyspnea saat latihan pada anak yang lebih tua.
Class III
Ditandai takipneu dan berkeringat saat makan pada bayi.
Ditandai dyspnea saat aktivitas
Waktu pemberian makan lebih lama disertai dengan gagal tumbuh.
Class IV
tachypnea, retraksi, merintih, or berkeringat saat istirahat.
(Sumber : Hsu DT, Pearson GD. Heart Failure in Children. Part I : History, Etiology, and Pathophysiology. Circ Heart Fail. 2009;2;63-70.)
2. Pertumbuhan anak pada PJB asianotik
2.1. Pertumbuhan normal
Pertumbuhan (growth) adalah bertambahnya besar, jumlah, ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu, yang bisa diukur dengan ukuran berat (gram, pound, kilogram), ukuran panjang (cm, meter), umur tulang dan keseimbangan metabolik (retensi kalsium dan nitrogen tubuh).12  ( [4])
Pertumbuhan mempunyai dampak terhadap aspek fisik, sedangkan perkembangan berkaitan dengan pematangan fungsi organ/individu. Pertumbuhan dan perkembangan terjadi secara sinkron pada setiap individu.12 (a)
2.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang.
Terdapat dua factor utama yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak, yaitu :
2.2.1. Faktor genetic.
Melalui intruksi genetic yang terkandung di dalam sel telur yang telah dibuahi, dapat ditentukan kualitas dan kuantitas pertumbuhan. Ditandai dengan intensitas dan dan kecepatan pembelahan, derajat sensitivitas jaringan terhadap ransangan, umur pubertas dan berhentinya pertumbuhan tulang. Yang termasuk factor genetic adalah berbagai factor bawaan yang normal dan patologis, jenis kelamin, suku bangsa.
2.2.2. Faktor lingkungan.
            Lingkungan ini merupakan lingkungan ‘bio-fisiko-psiko-sosial” yang mempengaruhi indiidu setiap hari, mulai dari konsepsi sampai akhir hayatnya.
Faktor lingkungan ini dibagi menjadi :
2.2.2.1. Faktor LIngkungan Pranatal
a. Gizi ibu pada waktu hamil. Gizi ibu yang jelek sebelum terjadinya kehamilan maupun pada waktu sedang hamil, lebih sering menghasilkan bayi BBLR atau lahir mati  dan jarang menyebabkan cacat bawaan.
b. Mekanis. Trauma dan cairan ketuban yang kurang dapat menyebabkan kelainan bawaan pada bayi yang dilahirkan.
c. Toksin / zat kimia. Masa organogenesis adalah masa yang sangat peka terhadap zat-zat teratogen. Misalnya : obat-obatan seperti thalidomide, phenitoin, methadion, obat-obat anti kanker, rokok, alcohol, dan keracunan logam berat  dapat menyebabkan kelainan bawaan, cacat, retardasi mental, BBLR, atau bayi lahir mati.
d. Endokrin.
Beberapa hormone telah diketahui mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan, yang paling utama pengaruhnya adalah hormone pertumbuhan :
1) Hormon pertumbuhan (Growth Hormone/ GH).  Hormon pertumbuhan adalah suatu polipeptida yang terdiri 191 asam amino, dihasilkan oleh kelenjar hipofisis sebagai jawaban terhadap sekresi growth hormone-releasing hormone (GH-RH). Hormon ini disekresi secara pulsatil, terutama pada waktu tidur nyenyak di malam hari. Efek hormone pertumbuhan terutama melalui insuline like growth factor (IGFs) sebagai mediator. Dalam mengatur pertumbuhan linier, GH mempunyai dua efek terhadap tulang rawan epifisis, secara langsung merangsang diferensiasi stem sel kondrosit dan secara tidak langsung melalui sintesis IGF-1, yang kemudian akan merangsang ekspansi sel-sel yang telah berdiferensiasi tersebut ke zona profliferasi, selanjutnya tulang rawan digantikan dengan sel tulang (kalsifikasi) di bagian distal epifisis. GH mempunyai efek langsung yang bersifat anabolic terhadap metabolisme protein, karbohidrat dan lemak.13  ([11])
b) Hormon tiroid. Hormon tiroid mempunyai efek langsung terhadap maturasi tulang, secara histologis diperlihatkan dengan pelebaran growth plate, diikuti dengan penyempitan tulang rawan dengan bertambahnya kalsifikasi dan meningkatnya kapiler di dalam metafisis. Hormon tiroid juga mempengaruhi produksi GH dan IGF-1. Sebaliknya hormone tiroid tidak bisa bekerja optimal tanpa GH. Hormon pertumbuhan meningkatkan konversi T4  menjadi T3.
c) Glukokortikoid.  Glukokortikoid menekan sitesis tulang dan tulang rawan serta mineralisasi, sedangkan produksi glikoprotein meningkat. Sebagai akibatnya pembentukan tulang (osteogenesis) berkurang. Kelebihan glukokortikoid dalam jangka panjang akan mengakibatkan hambatan pertumbuhan dan osteoporosis.
d) Calcium regulating hormone. Vitamin D melalui 1,25-dihidroksi vitamin D mempengaruhi maturasi tulang. Vitamin  mempunyai peranan dalam diferensiasi chondrosit growth plate dan mengurangi aktifitas alkali phosphatase. Hormon lain yang mengatur kalsium yaitu hormone paratiroid (PTH) mempunyai pengaruh yang besar terhadap elemen-elemen jaringan tulang yang terlibat dalam osteogenesis. Dibantu oleh IGF-1, PTH merangsang deferensiasi osteoblas untuk menyempurnakan maturasi tulang.13  ( 1006

e. Radiasi. Radiasi pada janin sebelum umur kehamilan 18 minggu dapat menyebabkan kematian janin, kerusakan otak, mikrosefali, atau cacat bawaan lainnya.
f. Infeksi. Infeksi intra uterin yang sering menyebabkan cacat bawaan adalah TORCH (Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus, Herpes Simplex), varicella, Coxsackie, Echovirus, malaria, lues, HIV, polio, campak, listeriosis, leptospira, mikoplasma, virus influenza, dan virus hepatitis B. Diduga setiap hiperpireksia pada ibu hamil dapat merusak janin.
g. Stres. Ibu hamil yang mengalami stress dapat mempengaruhi tumbuh kembang janin, antara lain cacat bawaan, kelainan kejiwaan, dan lain.lain.
h. Imunitas. Rhesus atau ABO inkomtabilitas sering menyebabkan abortus, hidrops fetalis, kern ikterus, atau lahir mati.
i. Anoksia embrio. Menurunnya oksigenasi janin melalui gangguan pada plasenta atau tali pusat, menyebabkan BBLR.

2.2.2.2. Faktor LIngkungan Postnatal
          LIngkungan postnatal yang mempengaruhi tumbuh kembang anak secara umum dapat digolongkan menjadi ;
A. LIngkungan Biologis, antara lain :
1. Ras/suku bangsa. Pertumbuhan somatic dipengaruhi oleh ras/suku bangsa. BAngsa kulit putih/ras Eropa mempunyai pertumbuhan somatic lebih tinggi dari bangsa Asia.
2. Jenis kelamin. Dikatakan anak laki-laki lebih sering sakit dibandingkan anak perempuan, tetapi belum diketahui secara pasti mengapa demikian.
3. Umur. Umur yang paling rawan adalah masa balita, oleh karena pada masa itu anak mudah sakit dan mudah terjadi kurang gizi. Disamping itu masa balita merupakan dasar pembentukan kepribadian anak. Sehingga diperlukan perhatian khusus.
4. Gizi.

            B. Faktor Fisik.
1. Cuaca, musim, keadaan geografis suatu daerah.
2. Sanitasi.
3. Keadaan rumah : struktur bangunan, ventilasi, cahaya, dan kepadatan hunian.
4. Radiasi.
C. Faktor psikososial.
1. Stimulasi
2. Motivasi belajar
3. Hukuman yang wajar.
4. Kelompok sebaya
5. Stres.
6. Sekolah.
7. Cinta dan kasih sayang.

D. Faktor Keluarga dan adat istiadat.
1. Pekerjaan pendapatan keluarga.
2. Pendidikan ayah/ibu.
3. Jumlah saudara.
4. Jenis kelamin dalam keluarga.
5. Stabilitas rumah tangga.
6. Kepribadian ayah/ibu.
7. Adat-istiadat, norma-norma, tabu-tabu.
8. Agama.
9. Urbanisasi.
10. Kehidupan politik dalam masyarakat yang mempengaruhi prioritas kepentingan anak, anggaran dan lain-lain. 12       (b)

Kebutuhan untuk  pertumbuhan dipenuhi dengan diet yang cukup dari makronutrien (protein, karbohidrat dan lemak), air, mineral, vitamin dan trace element. Recommended dietary allowance (RDA) adalah rekomendasi spesifik untuk kebutuhan nutrisi pada populasi atau individu. Rekomendasi ini mengetahui pemasukan nutrisi pada individu atau grup tetapi tidak dapat mengetahui adekuat dan inadekuatnya nutrisi perorangan. Rekomendasi ini didasarkan atas penelitian pada binatang, studi keseimbangan metabolic pada subyek manusia dalam jumlah terbatas, dan data epidemiologi dari populasi orang sehat dan kurang gizi.1  ([5])
Banyak faktor yang dapat mengubah kebutuhan normal seperti penyakit kronis, intoleransi makanan (malabsorpsi karbohidrat), dan kehilangan zat-zat gizi yang berlebihan (proteinuria). Rute pemberian makanan (enteral dan parenteral) juga mempengaruhi kebutuhan. Disamping itu faktor-faktor psikososial baik dalam keluarga maupun masyarakat juga mempengaruhi masukan makanan dan perilaku makan.11  (10)
2.2. Menilai pertumbuhan dari keadaan status gizi dengan Metode Antropometri.
Pengukuran antropometri merupakan salah satu cara untuk mengetahui keadaan status gizi, yaitu dengan melihat gangguan pertumbuhan dan perubahan komposisi tubuh. Untuk mengetahui gangguan pertumbuhan dilakukan pengukuran panjang badan, tinggi badan, berat badan dan lingkar kepala, sedangkan untuk mengetahui perubahan komposisi tubuh dilakukan pengukuran lingkar lengan atas, pengukuran tebal lemak dan tebal otot. Faktor yang mempengaruhi dari penilaian dari status gizi penderita penyakit jantung bawaan masukan dari kalori, kebutuhan energi, komponen diet. Mehrizi dan Drash melaporkan bahwa 55% anak dengan penyakit jantung bawaan mempunyai berat badan persentil ke-16, 52% tinggi badan dibawah persentil ke-16, dan untuk keduanya 27%  di bawah persentil ke-3. Penelitian yang dilakukan oleh Aeckerman dan kawan-kawan bayi dengan defek septum ventrikel didapatkan secara bermakna lebih ringan dan lebih pendek serta kenaikan berat badan sejak lahir lebih rendah dibandingkan dengan bayi sehat.
Ada beberapa jenis antropometri yang dapat dipakai dalam mengidentifikasi masalah KEP antara lain : berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, dan tebal lemak bawah kulit. Diantara beberapa jenis antropometri tersebut yang paling sering digunakan adalah BB dan TB.
Ada tiga cara penyajian distribusi indeks antropometri : yaitu persen terhadap median, persentil dan z skor median. Hasil perhitungan indeks antropometri berdasarkan persen terhadap median maupun persentil dan z skor dikaitkan dengan salah satu atau beberapa batas ambang (cut off point) dan perwujudannya disebut sebagai kategori status gizi.
2.2.1. Beberapa jenis antropometri yang sering dipakai serta interpretasinya:
a.       Indeks berat berat badan menurut umur.
Berat badan merupakan salah satu antropometri yang memberi gambaran tentang massa tubuh (otot dan lemak). Karena massa tubuh sangat sensitive terhadap perubahan yang mendadak, misalnya terserang penyakit infeksi, penurunan nafsu makan atau penurunan jumlah makanan yang dikonsumsi, maka berat badan merupakan ukuran antropometri yang sangat labil. Dalam keadaan normal, dimana keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara masukan dan kecukupan zat-zat gizi terjamin, berat badan berkembang mengikuti pertambahan umur. Sebaliknya dalam keadaan normal, terdapat 2 kemungkinan perkembangan berat badan : berkembang dengan cepat atau lebih lambat dari keadaan normal. Berdasarkan sifat-sifat ini maka indeks berat badan menurut umur digunakan sebagai salah satu indikator status gizi, dan karena sifat berat badan yang labil, maka indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang pada saat ini.
b. Indeks berat badan menurut tinggi badan.
Berat badan memiliki hubungan linier dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal perkembangan berat badan akan searah dengan pertambahan tinggi badan dengan percepatan tertentu, Indeks tunggal BB/TB merupakan indicator yang baik untuk menyatakan status gizi saat ini seperti halnya BB/U, digunakan bila data umur yang akurat sulit diperoleh. Karena itu indeks BB/TB dapat memberikan gambaran proporsi berat badan relatif terhadap tinggi badan, maka indeks ini merupakan pula indikator kekurusan.
         c. Indeks tinggi badan menurut umur.
Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Dalam keadaan normal, tinggi badan tumbuh bersamaan dengan pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan relatif kurang sensetif terhadap definisi gizi jangka pendek. Pengaruh definisi zat gizi terhadap tinggi badan baru tampak pada saat yang cukup lama. Indeks TB/U lebih menggambarkan status gizi masa lalu. Bila tinggi badan menurut umur berada dibawah standar normal dikatakan mengalami malnutrisi kronis.[6]

2.3. Gangguan pertumbuhan anak yang menderita penyakit jantung bawaan dengan pirau kiri ke kanan (asianotik).
                 Ada berbagai macam gangguan pertumbuhan, dari kekurangan gizi ringan sampai terjadi kegagalan pertumbuhan (failure to thrive). Pada penyakit jantung bawaan dengan pirau kiri ke kanan (asianotik) cenderung  berpengaruh pada gangguan pertumbuhan berat badan daripada tinggi badan. Sedangkan pada lesi sianotik cenderung berpengaruh pada keduanya yaitu pertumbuhan tinggi badan dan berat badan.c
                  Pada penyakit jantung bawaan yang sudah sampai tahap gagal jantung kongestif, akan terjadi ‘cardiac cachexia’, yaitu suatu keadaan dimana pasien mengalami kehilangan berat badan lebih dari 7,5% dari berat normal sebelum yang di amati selama lebih dari 6 bulan. Diagnosa pada pasien ini hanya dapat di nilai dengan mengukur berat badannya dalam keadaan tidak terjadi edema.d Pertumbuhan ‘cardiac cachexia’ ini terjadi karena gangguan neuroendokrin dan metabolic yang multifaktorial dan ketidakseimbangan kompleks pada  sistem tubuh yang berbeda.1713
Selama beberapa dekade ini para peneliti telah mencoba mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan pada anak dengan PJB. Akan tetapi sampai saat ini masih terjadi pertentangan mengenai faktor yang dominant sebagai penyebab gagal tumbuh pada bayi dan anak. Beberapa hipotesa telah diusulkan untuk menjelaskan terjadinya gagal tumbuh pada PJB. Faktor-faktor tersebut adalah :
A. Faktor-faktor jantung:
      1. Masukan nutrisi tidak adekuat
      2. Malabsorpsi
      3. Hipermetabolisme
      4. Hipoksia seluler. 1612
      5. Neurohormonal. 1713
B. Faktor-faktor non jantung:
Faktor-faktor lainnya diluar jantung seperti berat badan lahir rendah, umur saat dioperasi, kelainan kromosom, serta kelainan bawaan lainnya juga berperan. Problem sosioekonomi seperti gangguan interaksi orang tua dan anak pada saat makan, kultur/budaya tentang diet, pendidikan, kemampuan ekonomi keluarga serta sarana kesehatan yang tersedia juga perlu diperhatikan.16

3.1. Faktor-faktor jantung
3.1.1 Masukan nutrisi yang tidak adekuat
Pada saat terjadi gagal jantung, biasanya bayi akan mengalami kelelahan saat menghisap susu, sehingga tidak cukup mendapat nutrisi.  1612
Faktor yang mempengaruhi rendahnya pemasukan kalori pada PJB asianotik yang telah mengalami gagal jantung diantaranya adalah hilangnya nafsu makan, sesak napas, takipneu, kelelahan, muntah yang berlebihan, infeksi saluran napas, anoreksia dan asidosis. Keadaan ini terutama terjadi pada PJB dengan gagal jantung kongestif. Bayi dengan PJB yang disertai gagal jantung tumbuh lebih lambat dan mempunyai masukan kalori yang lebih sedikit dibandingkan dengan bayi PJB tanpa gagal jantung. Anak dengan gagal jantung kiri atau PJB yang disertai dengan sianosis akan mengalami sesak dan mudah lelah sebelum dapat menghabiskan makanan yang dibutuhkan. Pembatasan pemberian cairan pada penderita gagal jantung juga mengurangi masukan nutrient. Bila diberikan makanan dengan volume sesuai dengan kebutuhan dapat menyebabkan terbatasnya gerakan diafragma yang akan memperberat gangguan napas dan bahkan dapat menyebabkan muntah. Dengan demikian pemasukan makanan menjadi dibawah kebutuhan rata-rata menurut umur. Hepatomegali akibat gagal jantung dapat mengurangi volume lambung dan meningkatkan potensi untuk terjadinya refluk gastroesofageal dan aspirasi.
Penelitian yang dilakukan oleh Indra dan kawan-kawan didapatkan tidak adanya perbedaan bermakna status nutrisi antara PJB dengan gagal jantung dan tanpa gagal jantung pada berat badan menurut umur dan tinggi badan menurut umur. Begitu juga untuk pemeriksaan kalori dan protein didapatkan hasil perbedaan yang bermakna antara PJB dan tanpa PJB. Anemia juga dibandingkan antara penderita PJB non sianotik dengan tanpa PJB, didapatkan tidak adanya perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok.
Pemberian terapi diuretika dapat menimbulkan anoreksia yang disebabkan oleh alkalosis metabolic dan hipokalemia atau mungkin menghambat efektivitas anabolisme protein dengan menganggu keseimbangan natrium yang adekuat.
Anoreksi juga dikenal sebagai gejala intoksikasi digitalis atau kadang-kadang merupakan efek samping dari pemakaian digitalis dengan dosis standar. Faktor penting lainnya dari penyebab pemasukan energi yang tidak cukup berkaitan dengan kenyataan bahwa perhitungan kebutuhan kalori didasarkan pada berat badan saat ini. Seharusnya kebutuhan kalori dihitung berdasarkan berat badan menurut umur, sehingga terdapat kalori tambahan untuk memenuhi metabolisme basal yang meningkat dan untuk mencapai proses tumbuh kejar. Defisit dalam jumlah kecil ini bila berlangsung lama selama periode pertumbuhan cepat dapat menyebabkan gagal tumbuh.  
3.1.2. Malabsorbsi
Malabsorbsi adalah kegagalan usus halus untuk menyerap jenis makanan tertentu.  Pada PJB, berkurangnya perfusi sistemik, khususnya pada sirkulasi splanchnic dan usus dapat menyebabkan gangguan pengosongan lambung, peristaltic usus, dan penyerapan nutrisi.  Terjadinya gangguan pernafasan seperti takipneu dan dyspneu juga dapat menyebabkan refluks gastroesofagus. 1506
Malabsorbsi mengakibatkan berkurangnya energi yang dapat dimetabolisme meskipun masukan kalori cukup. Keadaan ini diduga menyebabkan absorbsi nutrisi (malabsorbsi) dan drainase limfatik. Malabsorbsi khususnya lemak dan protein, dengan manifestasi adanya steatorea dan protein  lossing enteropathy, terjadi pada bayi dengan malnutrisi pada anak PJB. Hepatomegali dan peregangan pada kapsula hepar yang terjadi pada gagal jantung juga memberikan pengaruh yang serius terhadap kemampuan pasien untuk mencerna makanan dengan menurunkan kapasitas lambung. Tetapi bukti mengenai hal ini tidak lengkap dan tidak berkaitan dengan beratnya gagal jantung.
3.1.3. Hipermetabolisme
 Gejala dispnoe dan takipnoe cenderung akan menyebabkan kelelahan dan penurunan intake makanan. Pada keadaan ini terjadi peningkatan metabolisme yang menyebabkan   kebutuhan energy meningkat.1  ( [12])
Anak dengan PJB asianotik yang mengalami gagal jantung, karena terjadi peningkatan kerja jantung dan pernapasan, maka akan selalu berada dalam kondisi hipermetabolik.  Sehingga membutuhkan kalori 50% lebih banyak dari anak yang normal untuk mencapai pertumbuhan yang normal.
Peningkatan relative metabolisme ini mungkin menjelaskan kesulitan anak dengan PJB yang disertai kurang gizi untuk mencapai berat ideal meskipun diberi diet yang cukup. Hal yang sama tampak pada bila anak-anak dengan malnutrisi berat dengan PJB konsumsi oksigennya lebih besar dibandingkan dengan anak yang pertumbuhannya  normal disertai dengan PJB.1612 Dengan menggunakan metode The Doubly Labelled Water diketahui bahwa energi total yang dikeluarkan sehari (Total Daily Energy Expenditure = TDEE) anak penderita defek septum ventrikel lebih besar 40% dibandingkan bayi sehat.[7]  Hasil yang sama juga didapat dari penelitian Mitchell dkk bahwa 5 dari 8 anak dengan PJB menunjukkan peningkatan pengeluaran energi.
3.1.4. Hipoksia seluler
Pada pasien dengan defek septum atrioventrikular  yang besar, terjadi percampuran antara darah yang mengandung oksigen dan darah yang tidak mengandung oksigen, sehingga mengakibatkan penurunan ringan saturasi oksigen ketika diukur dengan oksimetri. Keadaan ini tidak menimbulkan gejala cyanosis yang tampak. 1613 Analisa gas darah pada pasien PJB asianotik yang telah mengalami gagal jantung biasanya menunjukkan nilai yang normal, tetapi karena aliran darah yang lambat yang menuju ke jaringan dapat terjadi anoksia yang stagnan yang mengakibatkan hipoksia seluler.1612
Metabolisme basal yang meningkat dan kebutuhan energy yang tinggi serta penurunan masukan kalori mungkin terlibat, tetapi beberapa bukti menunjukkan bahwa konsumsi oksigen PJB sianotik lebih rendah daripada PJB non sianotik. Hipoksia diduga menyebabkan berkurangnya pembelahan sel akibat berkurangnya sintesa protein. Mekanisme yang menyebabkan berkurangnya sel lemak pada penderita diduga akibat hipoksia kronis pada saat fase pertumbuhan cepat (awal kehidupan). Pola pertumbuhan pada PJB asianotik lebih dipengaruhi oleh berat badan dibandingkan dengan tinggi badan. Pada PJB didapatkan adanya penurunan faktor-faktor pertumbuhan seperti serum IGF-1 (insulin like growth faktor 1) dan IGF BP-3 (insulin like growth faktor binding protein-3). 12
3.1.5. Neurohormonal


                       
3.2. Faktor-faktor non jantung.
3.2.1. Faktor prenatal
            Pertumbuhan pada anak dengan PJB juga dipengaruhi oleh faktor prenatal seperti berat badan lahir rendah, kelainan kromoson, potensi genetic, kelainan bawaan lainnya serta faktor-faktor intrauterine. Dibagi menjadi :
3.2.1.1. Penyakit ibu
Termasuk infeksi (rubella, parotitis epidemika), metabolic (diabetes mellitus, fenilktonuria, lupus eritematosus sistemik)
3.2.1.2. Obat-obatan
Variasi macam obat, dosis dan saat pemberian diduga mempunyai efek teratogenik. Dibagi beberapa kelas yaitu kelas I (teratogen potensial/ mempunyai efek kuat) adalah : alcohol, trimetadion, litium dan talidomid, kelas II (diduga keras sebagai teratogen), adalah dekstroamfetamin, hidantoin, dan hormon wanita(estrogen dan progesterone), di samping beberapa obat yang masih perlu pembuktian yaitu tranquilizer (meprobamate, diazepam), beberapa antibiotika (derivate penisilin, sulfazolon, tetrasiklin), beberapa analgetik ringan (aspirin).
Syarat teratogen dapat menyebabkan PJB yaitu :
1.      Harus ada predisposisi genetic untuk bereaksi abnormal sehingga terjadi gangguan perkembangan.
2.      Terjadi pada waktu yang peka yaitu masa perkembangan embryo (vulnerable).
3.2.1.3. Demografi
a.       Usia ibu : angka kejadian PJB meningkat dengan bertambahnya usia ibu, terutama : stenosis pulmonal, duktus arteriosus persisten.
b.      Paritas : risiko meningkat terutama pada kehamilan ke-8
c.       Berat badan dan prematuritas.
Risiko bayi premature untuk mendapatkan PJB 2,5 kali lebih besar daripada bayi normal.17
3.2.1.4. Geografi
a.Ketinggian suatu tempat : bila selama kehamilan trimester pertama tinggal di dataran tinggi (4500 – 5000 meter di atas permukaan laut) maka kelak bayinya mempunyai risiko mendapat duktus arteriosus persisten 30 kali lebih besar (hipoksia kronis yang diderita ibu).
b.Kepadatan penduduk : beberapa jenis PJB jelas didapatkan dua kali lebih banyak di daerah urban daripada rural.
c.Maternal hyperthermia : demam berkepanjangan atau pengaruh lingkungan dengan suhu tinggi pada kehamilan trimester pertama bisa mengakibatkan PJB pada bayinya.[8]
Sebanyak 25% anak dengan kelainan jantung bawaan menunjukkan berat badan lahir rendah yang merupakan bukti bahwa faktor prenatal juga berperan. Penelitian oleh Soeroso, insiden berat badan lahir rendah pada penderita defek septum ventrikel sebanyak 25,9%. Faktor prenatal ini diketahui mempengaruhi pertumbuhan dan memainkan peranan penting dalam mencapai kejar tumbuh setelah dilakukan koreksi bedah, dimana anak ini tidak pernah mencapai pertumbuhan yang normal. Kelainan kromosom yang mempengaruhi pertumbuhan berupa : trisomi, delesi, dan translokasi dimana didapatkan adanya sindrom kelainan jantung, berat lahir rendah serta pertumbuhan yang lambat. Semuanya itu bertanggung jawab terhadap retardasi pertumbuhan yang menetap setelah koreksi bedah dilakukan. 19    ( [9])
      Faktor genetic dinilai sebagai salah satu faktor untuk berbagai keadaan normal organisme, termasuk pula manusia. Oleh karena itu, perubahan pada faktor genetic dapat mempengaruhi keadaan normal sehingga timbul kelainan atau penyimpangan. Kelainan atau penyimpangan yang dasarnya karena perubahan pada faktor genetik tersebut digolongkan sebagai penyakit atau kelainan genetic, yang mungkin akan muncul sebagai kelainan bentuk (morfologi), fungsi (fisiologi) atau gabungan dari keduanya.
Faktor genetic dapat  diturunkan melalui autosom dominan, autosom resesif maupun aberasi kromosom. Faktor resiko anak akan meningkat dengan ayah dan ibu menderita PJB.
3.2.2. Faktor sosioekonomi.
            Faktor ini meliputi hal2 yang berkaitan dengan jumlah anggota keluarga, agama, umur dan tingkat pendidikan orang tua, pekerjaan orangtua, penghasilan orang tua perbulan.20    ( 17  )
                       



















DAFTAR PUSTAKA



[1] Wahab S. Kardiologi Anak Penyakit Jantung Kongenital Yang Tidak Sianotik. EGC. 2009. h:1.

[2] Sastrosubroto H, Soeroso S, Priyatno A.Kardiologi. Dalam:Hartantyo I, Susanto R, Tamam M, Kosim HMS, Irawan PW, Wastoro D (penyunting). Pedoman pelayanan medik anak. Edisi kedua. Semarang: Bagian IKA FK UNDIP/SMF kesehatan anak RSDK, 1997: 107-12
[3] Soeroso S, Sastrosoebroto H. Penyakit Jantung Bawaan Non Sianotik. Dalam: Sastroasmoro S, Madiyono B. Buku ajar kardiologi anak. Binarupa aksara. Jakarta. 1994:192-203.
[4] Abdulla S. Atrioventricular Canal Defect. Dalam : Koenig P, Hijazi ZM, Zimmerman F. Essential Pediatric Cardiology.  McGraw-Hill Medical Publishing Division. USA. 2004:131-5.
[5] Ruschhaupt DG. Patent Ductus Arteriosus. Dalam : Koenig P, Hijazi ZM, Zimmerman F. Essential Pediatric Cardiology.  McGraw-Hill Medical Publishing Division. USA. 2004:137-41.
[6] Park MK. Pediatric Cardiology for practicioners. 5th ed. USA: Mosby. 2008:h.129-30.
[7] Park MK. Pediatric Cardiology for practicioners. 5th ed. USA: Mosby. 2008:h.132.

[8]  Wahab AS. Kardiologi Anak : Penyakit Jantung Kongenital yang Tidak Sianotik. Cetakan I.  Jakarta: EGC. 2009: 37-67.


5 Ruschhaupt DG. Patent Ductus Arteriosus. Dalam : Koenig P, Hijazi ZM, Zimmerman F. Essential Pediatric Cardiology.  McGraw-Hill Medical Publishing Division. USA. 2004:137-41.
[9] Park MK. Pediatric Cardiology for practicioners. 5th ed. USA: Mosby. 2008:h.129-30.

3 Patel HT. Atrial Septal Defects (ASD). Dalam : Koenig P, Hijazi ZM, Zimmerman F. Essential Pediatric Cardiology.  McGraw-Hill Medical Publishing Division. USA. 2004:115-22.
[10] Waight JD. Ventricular Septal Defect. Dalam : Koenig P, Hijazi ZM, Zimmerman F. Essential Pediatric Cardiology.  USA:McGraw-Hill Medical Publishing Division. 2004:123-9.

4 Abdulla S. Atrioventricular Canal Defect. Dalam : Koenig P, Hijazi ZM, Zimmerman F. Essential Pediatric Cardiology.  McGraw-Hill Medical Publishing Division. USA. 2004:131-5.
10 Abad-Sinden A,Sutphhen Jl.Growth and Nutrition.Dalam: Allen HD, Clark EB, Gutgesell HP,Driscoll DJ,penyunting. Moss and Adams’ heart disease in infants,children, and adolescents . Including the fetus and young adults. 6 th ed.vol 1.Philadelphia : Lippincott Wiliams & Wilkins, 2001:h.325-32.
5 Ruschhaupt DG. Patent Ductus Arteriosus. Dalam : Koenig P, Hijazi ZM, Zimmerman F. Essential Pediatric Cardiology.  McGraw-Hill Medical Publishing Division. USA. 2004:137-41.
a Soetjiningsih. Tumbuh Kembang Anak. EGC. P:1.
[11] Fadlyana E. Gangguan Pertumbuhan Linier Pada Remaja. Dalam : Soetjiningsih, Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya. Cetakan ke-1.  Jakarta : Sagung Seto. 2004.h:59-60

1006 Fadlyana E. Gangguan Pertumbuhan Linier Pada Remaja. Dalam : Soetjiningsih, Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya. Cetakan ke-1.  Jakarta : Sagung Seto. 2004.h:59-60
b Soetjiningsih. TUmbuh Kembang Anak. EGC. H:1-13.

10 Abad-Sinden A,Sutphhen Jl.Growth and Nutrition.Dalam: Allen HD, Clark EB, Gutgesell HP,Driscoll DJ,penyunting. Moss and Adams’ heart disease in infants,children, and adolescents . Including the fetus and young adults. 6 th ed.vol 1.Philadelphia : Lippincott Wiliams & Wilkins, 2001:h.325-32.
c Schwab J, Schwab L, Smith P. Routine pediatric complaints in the pediatric cardiac patient. Dalam : Dalam : Koenig P, Hijazi ZM, Zimmerman F. Essential Pediatric Cardiology.  USA:McGraw-Hill Medical Publishing Division. 2004:488.
d Steinborn W, Anker  SD. Cardiac Cachexia: Pathophysiology and Clinical Implications. Basic Appl Myol 13 (4): 191-201, 2003.
1713 Steinborn W, Anker S. Cardiac Cachexia: Pathophysiology and Clinical Implications. Basic Appl Myol 13 (4). 2003. h: 191-201.
1612 Varan B,  Tokel K, Yilmaz G. Malnutrition and growth failure in cyanotic and acyanotic congenital heart disease with and without pulmonary hypertension. Arch Dis Child 1999;81:49–52.
1713 Steinborn W, Anker S. Cardiac Cachexia: Pathophysiology and Clinical Implications. Basic Appl Myol 13 (4). 2003. h: 191-201.
16 Wessel JJ. Cardiology.Dalam: Samour PQ, Helm KK. Handbook of pediatric nutrition. Aspen publishers inc : 1999.h. 413-21.
1612 Varan B,  Tokel K, Yilmaz G. Malnutrition and growth failure in cyanotic and acyanotic congenital heart disease with and without pulmonary hypertension. Arch Dis Child 1999;81:49–52.

1506 Lewis A, Hsieh V. Congenital Heart Disease and Lipid Disorders in Children. Dalam : Ekvall SW, Ekvall VK. Pediatric Nutrition in Chronic Disease and Developmetal Disorders Prevention, Assessment, and Treatment. 2nd Ed. Oxford University Press. New York. 2005. h:230

1c Corwin EJ. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta:EGC.2000.h:406.
[12] Varan B, Tokel K, Yilmaz G. Malnutrition and growth failure in cyanotic and acyanotic congenital heart disease with and without pulmonary hypertension. Arch Dis Child 1999;81:49–52
1612 Varan B, Tokel K, Yilmaz G. Malnutrition and growth failure in cyanotic and acyanotic congenital heart disease with and without pulmonary hypertention. Arh Dis Child. 1999 ; 81:49-52.
1613 Abdulla S. Atrioventricular Canal Defect. Dalam : Koenig P, Hijazi ZM, Zimmerman F. Essential Pediatric Cardiology.  McGraw-Hill Medical Publishing Division. USA. 2004:131-5
1612 Varan B,  Tokel K, Yilmaz G. Malnutrition and growth failure in cyanotic and acyanotic congenital heart disease with and without pulmonary hypertension. Arch Dis Child 1999;81:49–52.

12 Varan B, Tokel K, Yilmaz G. Malnutrition and growth failure in cyanotic and acyanotic congenital heart disease with and without pulmonary hypertention. Arh Dis Child. 1999 ; 81:49-52.
17 Vaidyanathan B, Nair SB, Sundaram  KR*, Babu UK, Shivaprakasha K. Malnutrition in Children with Congenital Heart Disease (CHD): Determinants and Short-term Impact of Corrective Intervention. Indian Pediatrics. Vol 45. 2008:h.541-6.
19 Soeroso S. Tumbuh kembang anak dengan penyakit jantung bawaan. Dalam : Firmansyah A,Sastroasmoro S, Trihono PP, Pujiadi A, Tridjaja B, Mulya GP dkk. Buku naskah lengkap KONIKA IX. Jakarta :IDAI Pusat,1999:445-59
20 Vaidyanathan B, Nair SB, Sundaram  KR*, Babu UK, Shivaprakasha K. Malnutrition in Children with Congenital Heart Disease (CHD): Determinants and Short-term Impact of Corrective Intervention. Indian Pediatrics. Vol 45. 2008:h.541-6.
17  (  ) Vaidyanathan B, Nair SB, Sundaram  KR*, Babu UK, Shivaprakasha K. Malnutrition in Children with Congenital Heart Disease (CHD): Determinants and Short-term Impact of Corrective Intervention. Indian Pediatrics. Vol 45. 2008:h.541-6.


1 Varan B, dkk. Malnutrition and growth failure in cyanotic and acyanotic congenital heart disease with and without pulmonary hypertension. Arch Dis Child 1999;81:49–52.
2 Williams et al. Birth Weight and Prematurity in Infants with Single Ventricle Physiology: Pediatric Heart Network Infant Single Ventricle Trial Screened Population. Congenit Heart Dis. 2010 March ; 5(2): 96–103.

3 Wahab S. Kardiologi Anak Penyakit Jantung Kongenital Yang Tidak Sianotik. Cetakan I. EGC. Jakarta. 2009.

4 Sastrosubroto H, Soeroso S, Priyatno A.Kardiologi. Dalam:Hartantyo I, Susanto R, Tamam M, Kosim HMS, Irawan PW, Wastoro D (penyunting). Pedoman pelayanan medik anak. Edisi kedua. Semarang: Bagian IKA FK UNDIP/SMF kesehatan anak RSDK, 1997: 107-12

5 Patel HT. Atrial Septal Defects (ASD). Dalam : Koenig P, Hijazi ZM, Zimmerman F. Essential Pediatric Cardiology.  McGraw-Hill Medical Publishing Division. USA. 2004:115-22.



6 Soeroso S, Sastrosoebroto H. Penyakit Jantung Bawaan Non Sianotik. Dalam: Sastroasmoro S, Madiyono B. Buku ajar kardiologi anak. Binarupa aksara. Jakarta. 1994:192-203.

7 Abdulla S. Atrioventricular Canal Defect. Dalam : Koenig P, Hijazi ZM, Zimmerman F. Essential Pediatric Cardiology.  McGraw-Hill Medical Publishing Division. USA. 2004:131-5.

8 Ruschhaupt DG. Patent Ductus Arteriosus. Dalam : Koenig P, Hijazi ZM, Zimmerman F. Essential Pediatric Cardiology.  McGraw-Hill Medical Publishing Division. USA. 2004:137-41.
9 Park MK. Pediatric Cardiology for practicioners. 5th ed. USA: Mosby. 2008





18 Corwin EJ. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta:EGC.2000.h:406.

[2] Elizabeth JC. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta:EGC. 2009:h.449.

10 Waight JD. Ventricular Septal Defect. Dalam : Koenig P, Hijazi ZM, Zimmerman F. Essential Pediatric Cardiology.  USA:McGraw-Hill Medical Publishing Division. 2004:123-9.


11 Abad-Sinden A,Sutphhen Jl.Growth and Nutrition.Dalam: Allen HD, Clark EB, Gutgesell HP,Driscoll DJ,penyunting. Moss and Adams’ heart disease in infants,children, and adolescents . Including the fetus and young adults. 6 th ed.vol 1.Philadelphia : Lippincott Wiliams & Wilkins, 2001:h.325-32.


12 Soetjiningsih. Tumbuh Kembang Anak. EGC. Jakarta.

13 Fadlyana E. Gangguan Pertumbuhan Linier Pada Remaja. Dalam : Soetjiningsih, Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya. Cetakan ke-1.  Jakarta : Sagung Seto. 2004.h:59-60.

[5] Varan B, Tokel K, Yilmaz G. Malnutrition and growth failure in cyanotic and acyanotic congenital heart disease with and without pulmonary hypertention. Arh Dis Child. 1999 ; 81:49-52.

[6] Besler S. Nutritional assessment. Dalam: Samour PQ, Helm KK. Handbook of Pediatric Nutrition. Aspen publishers inc : 1999. h. 17-38.

[7] Ackerman I, Karn C, Ensing G, Denne S, Leitch C. Total but not resting energy expenditure is increased in infants with ventricular septal defects. Pediatrics 1998;102: 1172–7.
[8] Ontoseno T. Penyakit jantung bawaan: faktor resiko dan pencegahannya. Dalam: Firmansyah A,Sastroasmoro S, Trihono PP, Pujiadi A, Tridjaja B, Mulya GP dkk.Buku naskah lengkap KONIKA IX.Jakarta :IDAI Pusat,1999:437-44.

[9] Soeroso S. Tumbuh kembang anak dengan penyakit jantung bawaan. Dalam : Firmansyah A,Sastroasmoro S, Trihono PP, Pujiadi A, Tridjaja B, Mulya GP dkk. Buku naskah lengkap KONIKA IX. Jakarta :IDAI Pusat,1999:445-59.



[9] Patel HT. Atrial Septal Defects (ASD). Dalam : Koenig P, Hijazi ZM, Zimmerman F. Essential Pediatric Cardiology.  McGraw-Hill Medical Publishing Division. USA. 2004:115-22.

[9] Patel HT. Atrial Septal Defects (ASD). Dalam : Koenig P, Hijazi ZM, Zimmerman F. Essential Pediatric Cardiology.  McGraw-Hill Medical Publishing Division. USA. 2004:115-22.


18 Corwin EJ. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta:EGC.2000.h:406.

[9] Elizabeth JC. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta:EGC. 2009:h.449.



18 Corwin EJ. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta:EGC.2000.h:406.

[9] Elizabeth JC. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta:EGC. 2009:h.449.